System pembelajaran dalam Islam dari tahun ke tahun semenjak masa hidup Rosulullohi SAW hingga era globalisasi sekarang ini kian menunjukkan pengembangan dalam hal model penyampaian ilmu dari guru kepada murid, apa saja , langsung mari semak bersama.
(1) As sama' : Guru membaca , murid mendengarkan (digunakan pada periode awal sahabat).
Cara ini paling direkomendasikan karena cara inilah yang rosululloh contohkan kepada para sohabat. Sebagaimana pesan Rosulullohi SAW “Kamu semua mendengarkan, kemudian didengar dari kamu dan kemudian didengar dari orang yang mendengarkan padamu”
Dengan metode mendengarkan, berarti antara guru dan murid berada dalam satu majelis, sehingga terjadi interaksi. Pemindahan ilmu dan pengertian sangat efektif, karena ketika murid tidak atau belum jelas tentang suatu pengertian maka dapat langsung bertanya sehingga menambah pemantapan dan keyakinan. Gerakan dalam memberikan penjelasan dapat lebih memperjelas pemahaman terlebih praktek gerakan ibadah seperti sholat, wudhu dll.
(2) 'Ard/Qiroah : Murid membacakan pada guru (kemudian mulai umum digunakan setelah assama')
Jumhur Ulama salaf (sahabat/tabiin) menyebutkan cara yang pertama lebih utama dibanding cara yang kedua, namun ada ulama setelah tabiut tabi'in yang menyebutkan bahwa kedua cara tersebut mempunyai nilai yang sama, antara lain Imam Thahawi (wafat 328 H) yang menuliskan dalam sebuah kitab tentang kesejajaran kedua metode tersebut. (Azamy hal. 45)
Cara yang demikian dilakukan manakala muridnya sudah lancar membaca kitab dan mempunyai pemahaman yang mendasar.
(3) Ijazah : mengizinkan seseorang untuk meriwayatkan hadits/kitab berdasarkan otoritas/wewenang (ulama yg punya kitab) tanpa dibacakan (muncul setelah abad ke 3, misal si A mengizinkan B menyampaikan sahih Bukhori maka B harus menemukan/ memakai salinan sahih Bukhori yang berisi sertifikat yang memuat nama si A).
Contoh : Jaman sekarang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (wafat 1420 H / 1999 M) mendapatkan otoritas utk menyampaikan hadits berdasarkan Ijazah dari gurunya yaitu Allamah Shaykh Muhammad Raghib at-Tabaagh, dan tidak mendapatkan ilmu haditsnya dari baca-baca buku sendiri. Dikatakan juga di tulisan ini bahwa sekarang Ijazah (otoritas) penyampaian telah diserahkan Syeikh Albani kepada Syeikh Ali Hasan, dan ilmu hadits Syeikh Albani telah dites oleh Dr Azami.
(4) Munawalah : menyerahkan pada murid kitab/hadits. (misal Az Zuhri wafat 125 H menyerahkan kitabnya pada ulama-ulama), Ini riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah dariku maka kitab itu dibiarkannya padanya untuk dimiliki atau disalin.
Ini tidak umum pada masa awal (sahabat), Periwayatan seperti ini boleh dan derajatnya lebih rendah dari as-sama' dan al-qiro'ah.
(5) Kitabah : menulis surat pada seseorang (korespondensi).
Dilakukan pada masa khulafaur rasyidin, surat2nya (khulafaur rosyidin) sering mengandung hadits yang diriwayatkan para ulama.
(6) I'lam : menginformasikan seseorang bahwa dia (si pemberi informasi) telah mendapat izin untuk meriwayatkan bahan tertentu. Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Para ulama juga berselisih dengan metode ini.
Adapun lafadz yang digunakan periwayat berkata "A'lamani syaikhi", artinya guruku telah memberitahu kepadaku. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain tidak. Cara ini sulit dilacak pada masa-masa awal juga kesohihannya diragukan.
(7) Wasiyah : mewasiyatkan bukunya pada seseorang. (seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau didalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiyatkan kepada sang perawi. Riwayat ini sebagian ulama mengatakan boleh, sebagiannya mengatakan tidak boleh dipakai, dan yang shahih adalah tidak boleh). Contoh Abu Qilabah (wafat 104 H) mewasiyatkan kitabnya pada Ayyub Al Sakhtiyani.
(8) Wajadah : menjumpai buku/hadits yang ditulis seseorang, seperti kita datang ke perpustakaan kemudian kita membuka / membaca2 hadits/kitab. Ini yg paling banyak ditentang ulama, karena sanadnya putus/mursal. Karena sanadnya putus , sedangkan mutashil (sambungnya) sanad merupakan salah satu syarat kesohihan matan (isi) hadits, dengan demikian pengertian yang diperolah dengan cara ini tidak sohih.