Orang yang cerdas adalah orang yang mengoreksi dirinya dan mengamalkan untuk apa-apa sesudah kematian, dan orang yang lemah (bodoh) adalah orang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya kemudian berharap kepada Alloh.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) cerdas ialah sempurna
perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya); tajam
pikirannya.
Menurut sebuah sumber di blog http://sayogand.blogspot.co.id bahwa cerdas dalam
arti pintar adalah sebutan untuk orang yang teratur dan disiplin sehingga ia
selalu mampu mengerjakan apa yang diperintahkan. Orang pintar selalu melakukan
segala sesuatunya dengan baik dan mampu mencerna apapun dengan sempurna. Pintar
itu bisa dicari. Misalkan sekarang Anda tidak pintar, tetapi jika Anda disiplin
mengejar cita – cita dan mau bekerja keras saya jamin Anda mampu menjadi orang
pintar.
Boleh jadi devinisi cerdas menurut sumber lain bervareasi, namun menurut Rosulullohi SAW, simple saja,
manakala seseorang itu dapat mengoreksi diri atau introspeksi termasuk mengendalikan diri dan beramal untuk persiapan sesudah kematian, itulah orang cerdas.
Cerdas di sini bukan bawaan lahir bukan qodrati yang sulit dirubah, tapi dapat dicapai oleh semua umat manusia yang mempunyai kesadaran. Sesuai dengan fitrah dinulloh (agama Alloh) bahwa agama itu mudah, "ad-dinu yusrun".
Cerdas, bukanlah orang yg berhasil studi dengan predikat cumlaude- disamping juga dulu jaman Rosul belum ada perguruan tinggi seperti sekarang-, bukanlah mahasiswa paling muda lulus tercepat karena nilai akademis, bukan pula orang yang punya IQ tinggi dengan segudang penghargaan karena prestasi berbagai penemuan, namun orang yang sadar dan yakin 100% dengan apa yang akan terjadi setelah kematiannya kemudian sedaya upaya berusaha " isti'dadzan" persiapan beramal dilandasi rasa takut ancaman Sang Pencipta, itulah orang yang cerdas dalam pandangan Rosulullohi SAW.
Orang dengan kecerdasan pikiran sang boleh jadi hanya standar minimal saja, dia akan mengoptimalkan peluang hidupnya untuk mendekat ke jalan Alloh SWT, memohon petunjuk dan bimbingan kepadaNYA diniati untuk mendapatkan ni'mat dan rohmat yang kelak akan dirasakan sendiri di kehidupan kelak yang abadi.
Sebaliknya dalam pandangan Rosulullohi SAW orang lemah -dalam hadits di atas- bukanlah orang yang tidak mampu fisiknya mengangkat benda berat, atau lemah dari sisi finansial hidupnya sangat pas-pasan, tetapi orang yang mengikuti hawa nafsunya, tidak mengindahkan lagi norma ilahiyah, mengikuti pikirannya sendiri termasuk di dalam hal peribadatan, namun orang itu berharap-harap mendapat ampunan, diberi rohmat , berharap dapat kenikmatan di akhirat masuk surganya Alloh SWT, itulah orang yang lemah.
Boleh jadi devinisi cerdas menurut sumber lain bervareasi, namun menurut Rosulullohi SAW, simple saja,
manakala seseorang itu dapat mengoreksi diri atau introspeksi termasuk mengendalikan diri dan beramal untuk persiapan sesudah kematian, itulah orang cerdas.
Cerdas di sini bukan bawaan lahir bukan qodrati yang sulit dirubah, tapi dapat dicapai oleh semua umat manusia yang mempunyai kesadaran. Sesuai dengan fitrah dinulloh (agama Alloh) bahwa agama itu mudah, "ad-dinu yusrun".
Cerdas, bukanlah orang yg berhasil studi dengan predikat cumlaude- disamping juga dulu jaman Rosul belum ada perguruan tinggi seperti sekarang-, bukanlah mahasiswa paling muda lulus tercepat karena nilai akademis, bukan pula orang yang punya IQ tinggi dengan segudang penghargaan karena prestasi berbagai penemuan, namun orang yang sadar dan yakin 100% dengan apa yang akan terjadi setelah kematiannya kemudian sedaya upaya berusaha " isti'dadzan" persiapan beramal dilandasi rasa takut ancaman Sang Pencipta, itulah orang yang cerdas dalam pandangan Rosulullohi SAW.
Orang dengan kecerdasan pikiran sang boleh jadi hanya standar minimal saja, dia akan mengoptimalkan peluang hidupnya untuk mendekat ke jalan Alloh SWT, memohon petunjuk dan bimbingan kepadaNYA diniati untuk mendapatkan ni'mat dan rohmat yang kelak akan dirasakan sendiri di kehidupan kelak yang abadi.
Sebaliknya dalam pandangan Rosulullohi SAW orang lemah -dalam hadits di atas- bukanlah orang yang tidak mampu fisiknya mengangkat benda berat, atau lemah dari sisi finansial hidupnya sangat pas-pasan, tetapi orang yang mengikuti hawa nafsunya, tidak mengindahkan lagi norma ilahiyah, mengikuti pikirannya sendiri termasuk di dalam hal peribadatan, namun orang itu berharap-harap mendapat ampunan, diberi rohmat , berharap dapat kenikmatan di akhirat masuk surganya Alloh SWT, itulah orang yang lemah.